Catatan Perjalanan :
Musim
Panas Di Arizona
5.
Legenda Tentang Lost Dutchman Mine
Sebuah
wisata tambang singkat tapi bernuansa sebuah perjalanan panjang
lintas waktu baru saja saya alami. Sebuah peniruan yang sangat
baik atas sejarah masa lampau dari sebuah wilayah yang sebelum
akhir abad ke-19 dulu pernah jaya oleh booming hasil
tambang emas dan perak, dan lalu ditinggalkan masyarakatnya
sehingga menjadi wilayah tak berpenghuni. Itulah kota hantu yang
kini ramai dikunjungi orang dan hidup lagi, bukan sebagai kota
tambang melainkan telah berubah menjadi satu sektor industri yang
mampu membangkitkan kehidupan sosial-ekonomi generasi penerusnya.
Ada
yang membekas di ingatan saya setelah mengunjungi obyek wisata
bekas kota tambang Old Mammoth di pinggir selatan dataran tinggi
Goldfield ini. Tambang-tambang memang sudah tidak beroperasi
lagi, kemilau emas dan perak juga tidak lagi memancar, dan
kehidupan kota juga sudah ditinggalkan masyarakatnya, hingga
disebut sebagai the ghost town (kota hantu).
Maka
yang tinggal hanya puing-puing kota, sisa-sisa rongsokan
peralatan tambang, dan kisah abadi tentang kejayaan masa lalu.
Ketika elemen-elemen tak berharga ini disatukan,
direkonstruksi, diberi sentuhan artistik, dilengkapi dengan
assesori yang informatif, ternyata berhasil dijual dan terbukti
dibeli orang.
***
Sambil
melanjutkan perjalanan, ingatan saya melayang ke lima tahun yang
lalu ketika saya meninggalkan tempat kerja saya di sebuah tambang
emas bawah tanah di desa Lebong Tandai, Bengkulu Utara. Tambang
ini adalah tambang emas bawah tanah pertama di Indonesia yang
dikelola oleh swasta, PT Lusang Mining. Cukup sepuluh tahun
mencapai masa kejayaan sejak Indonesia booming emas di era
70-80-an.
Tambang
bawah tanah ini beroperasi dengan membuka kembali sebuah tambang
lama bekas peninggalan jaman Belanda. Peralatan dan fasilitas
baru baik untuk pekerjaan rehabilitasi, pengembangan, penambangan
maupun pengolahannya, kemudian didatangkan guna menunjang operasi
yang berskala lebih besar. Hingga saat pemilik modal memutuskan
untuk mengakhiri operasi penambangan dan meninggalkannya, semua
peralatan dan fasilitas tambang masih ada di sana. Apa yang
terjadi kemudian?
Dari
cerita yang sempat saya dengar, masyarakat pencari emas
serta-merta datang dari berbagai wilayah di Indonesia menyerbu
Lebong Tandai, mengkapling-kapling lokasi, lalu mengusahakan
penambangan sendiri yang menurut terminologi pemerintah disebut
sebagai PETI (penambang emas tanpa ijin) alias penambang liar.
Semua orang seperti berebut kekuasaan atas bekas aset milik
perusahaan. Entah bagaimana nasib tambang dan fasilitasnya itu
kini.
Ingatan
saya yang kedua menuju ke awal tahun 1983. Saat itu saya bersama
empat orang teman terbang menuju Pulau Singkep, di Riau
Kepulauan, dalam rangka melakukan Kerja Praktek Lapangan di PT
Tambang Timah sebagai syarat menyelesaikan tahap Sarjana Muda.
Masa
kejayaan industri pertambangan timah memang sedang beranjak turun
saat itu, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun saya
masih bisa merasakan dan melihat betapa usaha pertambangan timah
telah menyumbang sangat besar dalam perannya menghidupkan sebuah
pulau terpencil di deretan kawasan Riau Kepulauan. Dua kota utama
yang menjadi basis operasi PT Tambang Timah di sana adalah Dabo
dan Raya, selain ada Pulau Karimun dan Kundur di sebelah utaranya
yang menjadi satu bagian dari Unit Penambangan Timah Singkep
(UPTS).
Operasi
tambang semprot (hydraulic mining) dan kapal keruk (dredging)
meninggalkan kolong-kolong bekas tambang (semacam kolam raksasa)
yang lalu dicoba untuk dimanfaatkan sebagai usaha perikanan,
meskipun sejauh ini saya tidak mendengar cerita suksesnya. Hal
yang kabarnya kurang lebih sama juga terjadi di Pulau Belitung
dan Bangka.
Saya
ingat betapa kota Dabo dan Raya yang juga banyak memiliki sarana
dan prasarana bekas peninggalan Belanda, menunjukkan gairah
kehidupan ekonomi yang melaju pesat. Sebagai dampak dari
berkembangnya usaha penambangan timah, maka sektor pertanian
terutama sayur-sayuran (tidak ada sawah di sana), perikanan,
perhubungan, perdagangan, serta bidang jasa lainnya, seperti
terdongkrak turut meramaikan aktifitas sosial-ekonomi. Selain PT
Tambang Timah, di sana juga ada PT Riau Tin Mining yang
mengoperasikan kapal keruk tercanggih saat itu.
Tiba
saatnya timah ambruk, operasi menurun, karyawan
dikurangi, dan akhirnya penambangan timah Singkep dihentikan.
Akibatnya, aktifitas ekonomi terhenti, demikian halnya berakibat
di sektor-sektor penunjang lainnya. Orang-orang pun lalu pergi
meninggalkan pulau Singkep guna mencari penghidupan lain di
tempat yang lain. Tinggallah Singkep dengan borok-borok
buminya menjadi kota hantu.
Dari
dua contoh nyata itu, saya berangan-angan tentang adakah
kemungkinan untuk suatu saat nanti (diantara tanda
petik) lokasi-lokasi bekas tambang yang kini ditinggalkan itu
kelak akan dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata, entah
wisata alam, museum, sejarah, dsb. Itu kalau memang secara
geologis tidak lagi prospektif.
Kita
punya pengetahuan, kita punya ketrampilan, kita punya sejarah
kebanggaan, dan rasanya kita juga punya komitment untuk
menyelamatkan masa lalu. Yang juga tidak kalah
menariknya, di sana juga ada ceritera-ceritera legenda yang
menyertainya. Sayangnya unsur-unsur itu kini masih
sepotong-sepotong ada di sana-sini. Sehingga belum bisa
direalisasikan menjadi satu kesatuan kerja yang professional.
Barangkali masih perlu waktu, tapi entah sampai kapan
..
Ya,
barangkali suatu saat nanti ketika sebagian besar
masyarakat Indonesia sudah beranjak dari golongan pra-sejahtera
menjadi sejahtera, sehingga rekreasi sudah menjadi kebutuhan
hidup. Kalau sudah demikian halnya, tentu para pemilik modal
tidak akan segan-segan untuk berinvestasi. Atau, perlu terobosan
lain?
***
Menengok
kembali tentang kota hantu di pegunungan Superstition ini, salah
satu nama tambang yang cukup terkenal adalah Lost Dutchman Mine.
Di balik nama itu terkandung ceritera legenda dan misteri yang
tidak pernah habis tuntas dikisahkan. Ceritera tentang penemuan
emas besar-besaran oleh seorang perantau asal Jerman bernama
Jacob Waltz di akhir abad ke-19. Kabar penemuan emas itu lalu
menyebar dan masyarakat pun berbondong-bondong berdatangan untuk
mengadu nasib mencari emas. Namun ternyata tambangnya Pak Jacob
ini tidak pernah diketemukan. Kok aneh?
Hingga
kini, sudah banyak tulisan-tulisan yang mengkupas tentang
penemuan emas oleh Jacob Waltz ini, lengkap dengan bukti-bukti
klipping koran, arsip-arsip negara dan surat-surat pribadi
bertulisan tangan yang kesemuanya otentik. Masyarakat pada masa
itu percaya bahwa Jacob Waltz memang pernah menemukan emas di
pegunungan Superstition. Namun, hingga Jacob meninggal tahun 1891
dalam usia 81 tahun, berbagai lokasi yang telah ditelusuri
berdasarkan informasi yang ada, tidak pernah mengarah kepada
diketemukannya lokasi tambangnya Jacob Waltz. Pada masa itu
memang tidak mudah untuk membuka tambang di situ karena suku
Indian masih sangat berkuasa.
Hingga
abad ke-20, masih saja ada orang yang percaya bahwa tambang itu
masih ada, dan upaya pencarian masih dilakukan orang, layaknya
film-film mencari harta karun berpedoman pada peta buta. Namun
sebagian orang lainnya skeptis, bahwa tambang itu tidak pernah
ada. Sampai-sampai Biro Pertambangan Amerika mengadakan
penelitian, dan dalam laporannya tahun 1982 menyimpulkan bahwa
lokasi yang dicurigai sebagai tambangnya Pak Jacob ini secara
geologis tidak mungkin ditemukan emas. Tidak ditemukan bukti
adanya proses alterasi, mineralisasi, atau indikasi lain tentang
pengendapan mineral.
Akan
tetapi ceritera sudah terlanjur melegenda, dan tambangnya Pak
Jacob yang hilang ini oleh sebagian orang lalu
gampang saja disebut sebagai Lost Dutchman Mine.
Terlepas dari soal benar pernah ada atau tidaknya tambang ini,
ternyata ada ratusan publikasi atau artikel yang pernah ditulis
orang berkaitan dengan legenda ini hingga sekarang. Artinya,
legenda itu sendiri memang memberi fenomena menarik untuk dikaji
baik dari sisi sejarah maupun geologi, dan tentu bisa menjadi
inspirasi bagi sebuah karya sastra.
Sambil
terus melanjutkan perjalanan saya mereka-reka, kenapa kok disebut
Lost Dutchman Mine : Ya
, barangkali dulu di sana ada orang
Jawa, sehingga Pak Jacob yang asalnya dari Jerman disebut londo
(Belanda) Jerman, dan tambangnya pun oleh orang Jawa itu lalu
disebut sebagai tambangnya wong londo (orang Belanda) yang
hilang, The Lost Dutchman Mine.- (Bersambung)
Yusuf
Iskandar
Kota
hantu hasil rekonstruksi sebuah bekas kota tambang Old
Mammoth